Percaya Saja Sama Allah, Karena Dia yang Ngasi Rezeki

ARTIKEL KE 824  

Merasa tertampar  

Sebagai anak sulung dari 6 bersaudara yang semuanya perempuan, beberapa tahun silam ibu saya menasehatkan hal ini :
"Jangan mau "hanya" jadi ibu rumah tangga saja seperti Ummi. Kalau suami meninggal atau kamu bercerai, gimana? Siapa yang kasih makan kamu dan anak-anak? Istri itu harus mandiri secara finansial supaya bisa punya uang untuk jaga-jaga kalau ada apa-apa dengan suami. Itu sebabnya kamu kami sekolahkan tinggi-tinggi, gak masalah bapakmu harus merelakan simpanan depositonya habis demi masa depanmu."


Dan itulah yang saya lakukan. Selepas menyandang gelar sarjana dari Universitas Hasanuddin Makassar, berburu pekerjaan lah saya dan takdir Allah menjadikan saya abdi negara sejak tahun 2000 silam..
Saya pikir semua itu baik-baik saja dan sudah sewajarnya sampai saya membaca kisah ini...
Dikisahkan seorang wanita merasa terhenyak dengan cerita wanita lainnya yang di luar kebiasaan yang diyakini.. Kisahnya dimulai dengan ini..

Saya lagi menunggu seorang tamu yang akan datang untuk mengisi pengajian di rumahku. Dia seorang wanita sederhana berusia hampir 50-an  nampak bersahaja dan datang jauh-jauh, ya....cukup jauhlah dari komplek perumahan tempat tinggalku, untuk memberi pengajian secara gratis. Ingat, gratis lho.... Nggak ada bayaran sepeser pun kecuali sajian makan siang ala kadarnya yang kuberikan. Dia datang untuk menggantikan guru ngajiku yang berhalangan datang.
Sambil menunggu teman-teman lain, kami ngobrol-ngobrol.
"Coba tebak, anak saya berapa, Bu?" tanyanya, ketika kami sedang ngobrol soal anak-anak.
Saya sedikit mengeluhkan kondisi rumah yang berantakan karena anak-anak nggak bisa diam, lalu dia memaklumkan.
Namanya juga anak-anak. Dia sudah berpengalaman karena anaknya lebih banyak dari saya.
"Ehm... empat?" (pikir saya, paling-paling cuma selisih satu).
"Masih jauh...."
"Tujuh...."
"Kurang... yang benar, delapan."
Mata saya membelalak. Masya Allah! DELAPAN?!
"Itu masih kurang, Bu. Ustadzah Fulanah  saja anaknya 13. Jadi, saya ini belum ada apa-apanya," katanya, merendah.
Weleh penganut paham banyak anak banyak rezeki nih...
Kalo saya mah gak sanggup anak dua aja bikin rempong!
Setelah itu, mengalirlah cerita-ceritanya mengenai anak-anaknya sampai teman-teman saya datang dan acara mengaji pun dimulai.

Di sela pengajian, wanita itu bercerita mengenai keluarganya. Dari situ saya baru tahu kalau suaminya sudah meninggal dunia! Meninggal karena kecelakaan motor, meninggalkan istri dan delapan anak, yang terkecil berusia 2,5 tahun dan sang istri, ya... wanita itu... seorang IBU RUMAH TANGGA.
Ibu rumah tangga di sini maksudnya nggak kerja kantoran, tapi juga bukan pengangguran. Beliau aktif mengisi pengajian itupun gratis...
Lalu, bagaimana kehidupannya setelah suaminya meninggal? Beliau nggak punya gaji, nggak kerja kantoran. Coba, gimana? Apa beliau lalu sengsara dan anak-anaknya putus sekolah? No. no, no....
Kalau saya mengingat kalimat pembuka di atas kok kayaknya mustahil ya seorang ibu yang nggak bekerja dan suaminya meninggal dunia, bisa bertahan hidup dengan delapan anak dan anak-anaknya bisa tetap kuliah. Mustahil itu... NGGAK MUNGKIN!

"Bagi Allah, nggak ada yang nggak mungkin, Bu. Asal kita percaya sama Allah. Allah yang kasih rezeki, kan? Percaya saja sama Allah. Saya cuma yakin bahwa semua yang saya dapatkan selama ini adalah karena kebaikan-kebaikan saya dan suami semasa hidup.
Saya cuma berbagi pengalaman ya, Bu, bukan mau riya. Memang, suami saya dulu itu orangnya pemurah. Kalau ada yang minta bantuan, dia akan kasih walaupun dia uangnya pas-pasan. Alhamdulillah, Allah kasih ganti. Sewaktu suami masih hidup, kami hidup sederhana. Rezeki suami itu dibagi ke orang-orang juga, padahal anak kami ada delapan. Suami nggak takut kekurangan....."

berbuat kebaikan bahkan pada orang asing


Kami menahan napas.....
"Hingga suami saya meninggal dunia... uang duka yang kami dapatkan itu... Masya Allah... jumlahnya 100 juta. Padahal, suami saya itu biasa-biasa saja, bukan orang penting. Uang itu langsung dibuat biaya pemakaman, tabungan pendidikan anak, dan sisanya renovasi rumah yang mau ambruk."
Dengar uang 100 juta dari uang duka saja, saya sudah kagum.
"Saat renovasi rumah, saya serahkan saja ke tukangnya. Dia bilang, uangnya kurang. Saya lillahi ta'ala saja. Yang penting atap rumah nggak ambruk, karena memang kondisinya sudah memprihatinkan. Khawatirnya anak-anak ketimpa atap....."


Saya membayangkan, keajaiban apa lagi yang didapatkan oleh wanita itu?
"Nggak disangka. Begitu orang-orang tau kalau saya sedang renovasi rumah, mereka menyumbang. Bukan ratusan ribu, tapi puluhan juta! Sampai terkumpul 100 juta lagi dan rumah saya seperti bisa dilihat sekarang.... Sampai hari ini, saya masih dapat transferan uang dari mana-mana, Bu-Ibu. Saya nggak tau dari siapa aja karena mereka nggak bilang. Saya juga udah nggak pernah beli beras lagi sejak suami meninggal. Selalu ada yang kasih beras."
Duh, nggak bisa nahan airmata deh jadinya....

Apa rahasianya?
"Berbuat baik kepada siapa saja, sekecil apa pun. Insya Allah ada balasannya. Rezeki itu milik Allah. Kalau Allah berkehendak, Dia akan kasih dari mana pun asalnya...." tutupnya.
Rezeki itu milik Allah, siapa pun tidak boleh takabur. Bekerja bukanlah sarana menyombongkan diri bahwa hidup kita bakal terjamin karena bekerja. Yang menjamin hidup kita adalah Allah. Bekerja diniatkan untuk ibadah. Pembuka rezeki bisa datang dari mana saja, salah satunya dari berbuat kebaikan sekecil apa pun.
Ucapan, "Kalau suami meninggal atau bercerai, siapa yang kasih makan saya dan anak-anak?" itu sama saja dengan SYIRIK, atau MENDUAKAN ALLAH.
Menganggap diri kita super, dengan kita bekerja, maka rezeki terjamin. Padahal, ALLAH YANG KASIH REZEKI. Jika dulu Allah kasih rezeki melalui suami, besok Allah kasih lewat jalan lain. Dari Allah kembali ke Allah."
Semoga bermanfaat...


Wallahu alam..